[RESENSI FILM] Bid'ah Cinta: Sebuah Sindiran Untuk Mereka Yang Merasa Paling Benar

Wayan Diananto | 20 Maret 2017 | 08:30 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Pemain: Ayushita, Dimas Aditya, Ibnu Jamil, Fuad Idris, Dewi Irawan, Ronny P. Tjandra, Alex Abbad, Ade Firman Hakim

Produser: Nurman Hakim, Joya D. Sahri

Sutradara: Nurman Hakim

Penulis: Nurman Hakim, Zaim Rofiqi, Ben Sohib

Produksi: Kaninga Pictures

Durasi : 2 jam, 8 menit

 

Satu keyakinan saja bisa beda pemahaman. Apalagi, beda keyakinan. Tidak terbayang bagaimana perjuangan pasangan beda keyakinan mendinginkan “bom waktu” agar tidak pernah meledak sampai maut memisahkan. Bidah Cinta, contoh bagaimana iman yang satu bisa ditafsirkan ke dalam banyak makna akibat beragamnya level kecerdasan manusia.

Di sebuah kampung, ada dua tokoh terpandang. Pertama, Haji Rohili (Fuad) dan istrinya, Nyak Saat (Dewi). Pasangan ini dikaruniai putri yang cantik, Khalida (Ayushita). Khalida menjalin cinta dengan Kamal (Dimas). Kamal putra dari tokoh terpandang lainnya, Haji Jamat (Ronny). Sepintas tak ada yang salah dari hubungan ini. Konflik terpercik saat Rohili berbeda pandangan dengan Jamat dalam menjalankan ajaran Islam.
    
Rohili mengizinkan perayaan maulid nabi, pengajian malam jumat, hingga membaca doa di kuburan. Sementara Jamat mengklaim Islam yang dijalaninya paling murni. Konflik meruncing setelah adik ipar Jamat, ustaz Jaiz (Alex) dan teman-temannya menguasai masjid. Jaiz melarang perayaan maulid dengan musik di masjid. Puncaknya, ustaz Jaiz membiarkan pengikutnya mengusir seorang waria bernama Sandra (Ade) saat hendak menjalankan salat di masjid.
    
Bidah Cinta terasa relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia, khususnya Jakarta belakangan ini. Jelang Pilkada, banyak orang “mendadak” sangat beriman. Mendadak merasa paling berhak membela keyakinan dan Ketuhanan. 


    
Lalu, orang-orang ini merasa berhak menyalahkan dan mengkafirkan orang lain. Merasa berhak menyerang jika ada yang tak sependapat dengan mereka. Entah darimana sikap semacam itu didapat. Entah dari mana bibit kebencian itu dibeli, dipupuk, lalu dijadikan alat pembenaran.
    
Nurman, Zaim, dan Ben yang membidani kisah ini tentu tak bermaksud mengolok-olok perilaku masyarakat jelang Pilkada. Ide cerita ini digagas 1,5 tahun silam. Jauh sebelum kegilaan gara-gara Pilkada ini terjadi. Bidah Cinta kemudian menjadi bentuk peringatan bahwa bahaya dalam masyarakat majemuk sebenarnya bukanlah perbedaan. Melainkan, sikap merasa benar.
    
Merasa benar tak hanya berisiko meremukan perbedaan. Jika dibiarkan, yang merasa benar akan memandang saudara seiman (yang tak sesuai dengan level keimanan mereka-red) sebagai “noda” yang harus diputihkan. Ide dasar ini dikembangkan ke dalam karakter-karaktrer dengan latar belakang mirip. Sepintas sama namun jika dilihat lebih dekat, kondisi ekonomi dan persoalan setiap pribadi sesungguhnya berbeda.
    
Ayushita mampu mengemban problema Khalida dengan baik. Secara fisik dan penampilan, ia terlihat anggun, bersahaja, dan minim gejolak. Intepretasinya membuat karakter Khalida terasa masuk akal jika disukai banyak pria. Begitu pun Dimas dengan jenggot, gaya berpakaian, dan cara berjalan membuat saya memikirkan hanya satu kata: alim.
    
Problem film ini barangkali cara bertuturnya yang kelewat lembut. Saking lembutnya, saya nyaris tidak merasakan gejolak pada 45 menit pertama. Saya tahu karakter-karakter film ini punya masalah. Hanya, mereka kurang terhubung di menit awal sehingga letupan-letupan emosinya kurang terasa. Baru pada paruh kedua, kita dihadapkan pada fakta runcing dan datang bertubi. Emosi kemudian digesek-gesek sampai memanas.
    
Bidah Cinta menjadi karya Nurman yang asyik dan lemah lembut. Gambar-gambar di film ini tetap terlihat berselera seperti film Nurman lainnya. Dinamis, mengantarkan kita pada kondisi yang nyata dalam masyarakat kita. Gambar-gambarnya kurang romantis. Karakter utamanyalah yang romantis. Memantulkan cinta, yang menjadi judul dan tema besar film ini. 

(wyn/ari)

Penulis : Wayan Diananto
Editor: Wayan Diananto
Berita Terkait